Waktu menunjukkan pukul 09.00 pagi. Galeri Annex yang terletak di bagian dalam Taman Ismail Marzuki masih cukup sepi. Dari dalam ruangan, saya melihat sosok perempuan paruh baya dengan pakaian kasual melangkah menuju luar gedung. Beliau tampak berdiskusi dengan beberapa anak muda yang menggunakan kartu tanda panitia gelaran Jakarta International Literary Festival tahun 2022. Tampilannya sangat energik. Ah, ya! Beliau adalah Murti Bunanta, seorang pakar sastra anak sekaligus pendiri Komunitas Pecinta Bacaan Anak atau yang lebih sering dikenal sebagai KPBA-Murti Bunanta.
Pagi hari itu, KPBA menjadi bagian dari acara besar Jakarta International Literary Festival 2022 yang mengangkat tema Our City in Their World: Citizenship, Urbanism, and Globalism. Selama empat hari berturut-turut mulai dari 22—25 Oktober 2022, KPBA mengadakan kegiatan bertajuk Mengenal Dongeng Nusantara, Ilustrasikan Kota Idamanmu, Diorama Kotaku, serta gelar wicara Milenial Tanpa Buku, Mungkinkah? Sebagai sukarelawan, saya ikut terlibat dalam dua kegiatan, yakni Mengenal Dongeng Nusantara dan Ilustrasikan Kota Idamanmu. Sebelumnya, saya tidak pernah bertemu secara langsung dengan Bu Murti, begitu beliau kerap disapa. Di usia yang sudah tidak lagi muda, langkahnya masih lincah. Beliau berjalan ke sana ke mari memastikan semua perlengkapan acara sudah siap. Bu Murti juga menggenggam secarik kertas, mungkin berisi petunjuk rundown acara yang akan dilaksanakan tepat pukul 10.00 pagi.

Sebelum peserta kegiatan berdatangan, para sukarelawan diminta berkumpul membentuk lingkaran kecil. Bu Murti memberikan pengantar perihal apa yang harus dilakukan. Tugas disiapkan: para sukarelawan harus ikut mendongeng wayang beber pada hari itu. Aduhai! Melihat wayang beber pun belum pernah, bagaimana saya harus mendongeng untuk anak-anak? Saya merasa panik dalam hati. Bu Murti dengan sabar menjelaskan bahwa wayang beber tidaklah serumit yang dibayangkan. Dalam hal ini, KPBA membuat wayang beber sebagai medium dua dimensi untuk menyampaikan cerita rakyat Si Kecil (Tiny Boy) asal Sulawesi Selatan. Bentangan kain sepanjang kira-kira empat meter menampilkan fragmen-fragmen dalam cerita rakyat tersebut. Bu Murti berkata, “Ceritakan saja, sesuai dengan bagian masing-masing. Jangan ada beban, berceritalah dengan gembira pada anak-anak.”

Saya yang merasa takjub dengan kata-kata Bu Murti akhirnya berhasil mendongeng sedikit fragmen cerita rakyat Si Kecil. Padahal itu adalah kali pertama saya mendongeng di depan anak-anak dan di dalam satu event yang sangat besar menurut saya. Rasa takjub saya tidak berhenti di situ. Saya merasa bahagia bisa belajar banyak dengan Bu Murti terkait bidang literasi dan dunia kesusastraan anak. Dengan bangga pula, saya bisa menyebut bahwa Bu Murti adalah role model bagi saya dalam mencintai dan mengembangkan dunia literasi anak.
Mengenal Kiprah Murti Bunanta
Sebelum bertemu langsung dengan Bu Murti, saya sudah pernah bekerja sama dengan beliau yang ditunjuk sebagai salah satu juri dalam lomba penulisan cerita anak yang diadakan oleh instansi tempat saya bertugas. Kami berkontak melalui pesan singkat, telepon, bahkan dalam beberapa kali pertemuan virtual. Sejak awal, bayangan sosok yang tegas, keibuan, tetapi tetap mengayomi sudah saya rasakan. Impresi itu tidak berubah saat saya bertemu secara langsung dengan Bu Murti di acara Jakarta International Literary Festival 2022. Kami berbincang banyak hal dan membuat saya makin mengagumi apa yang beliau sudah lakukan bagi perkembangan dunia literasi dan sastra anak di Indonesia.
Ibu Murti tidak hanya berkiprah di level nasional tetapi juga di level internasional. Perempuan kelahiran Semarang pada tahun 1946 ini memiliki rekam jejak yang tidak cukup dideskripskan dalam berlembar-lembar halaman. Bu Murti adalah sosok doktor pertama dari Universitas Indonesia yang meneliti sastra anak sebagai topik disertasi. Penghargaan yang telah diraih pun sudah sangat banyak. Di antaranya adalah hadiah internasional The Janus Korzcak International Literary Prize dari Polandia untuk buku Si Bungsu (1998), Octogenes untuk buku Legenda Pohon Beringin (2002), penghargaan BIB Honorary Award dari Slovakia (2002), Honorable Mention BIB (2005), IBBY Honor List (2008), Outstanding Book for Young People with Dissabilities untuk buku My First Dictionay-Insect (2009), dan USBBY Outstanding International Books List untuk buku The Tiny Boy and the Other Tales from Indonesia (2014). Selain penghargaan, Bu Murti juga aktif menjadi panelis dalam seminar dan lokakarya di dalam dan luar negeri selama bertahun-tahun dan menelurkan banyak artikel atau jurnal ilmiah di bidang sastra anak. Bu Murti mendirikan KPBA sebagai sebuah organisasi independen yang dirintis sejak 1988 dan Indonesian Board on Books for Young People (INABBY) sejak 1990 yang berfokus mengembangkan literasi dan memajukan bacaan bagi anak.

Dalam satu perbincangan, Bu Murti menyebut bahwa ia tidak bekerja untuk diri sendiri tetapi untuk Indonesia. Kecintaan Bu Murti pada bacaan anak dan sastra anak tidak datang begitu saja. Beliau menyebut bahwa ibunya adalah sosok inspirasi baginya karena sang Ibu tanpa sadar menanamkan kecintaan lewat cerita-cerita, bacaan anak, atau dongeng yang menghiasi masa kecilnya. Bercerita adalah hal yang rutin dilakukan oleh sang Ibu dan hal itu selalu diulang-ulang oleh Bu Murti. Setiap orang tua harus membiasakan bercerita pada anaknya. Tidak harus memiliki buku dongeng atau cerita yang harganya mahal. Setiap orang tua dapat bercerita apa saja hal yang dilakukan dalam keseharian kepada anak-anak dan itu nantinya akan membentuk kepribadian anak-anak menjadi lebih imajinatif. Bu Murti berharap orang-orang tidak hanya berkoar-koar bicara tentang literasi tanpa mengerti esensinya. Yang paling penting menurutnya adalah mewujudkan apa dan bagaimana literasi itu dalam kehidupan. Hal paling sederhana yang dapat mulai dilakukan di level keluarga yakni bercerita atau mendongeng.
Ibu Murti mengajarkan banyak hal kepada saya, salah satunya adalah memantik keberanian, ekspresi diri, dan rasa ingin tahu seperti yang dirasakan saat masih berusia kanak-kanak. Jika tidak didorong Bu Murti, mungkin saya tidak akan pernah berani mendongeng di depan khalayak ramai. Apalagi mendongeng di depan anak-anak yang memang menantikan cerita rakyat dengan sangat antusias. Dengan segala perjalanan, dedikasi panjang, juga penghargaan yang telah diraih Bu Murti sejauh ini, tidak membuat dirinya merasa spotlight harus ditujukan kepadanya. Bu Murti memberi kesempatan pada kami—generasi berusia lebih muda—untuk tampil mendongeng dan berkarya dalam panggung yang besar. Tidak semua orang punya kebesaran hati seperti yang dimiliki Bu Murti. Beliau juga berulang kali menyatakan bahwa seseorang dianggap berhasil apabila kesuksesan yang diraih tidak hanya berpusat pada dirinya sendiri tetapi juga pada lingkungan dan orang-orang di sekelilingnya.

Bu Murti juga mengajak untuk berbagi apa saja yang dimiliki, bisa kelebihan tenaga, waktu, materi, atau pengetahuan karena hal itu akan menyebar demi kebaikan orang lain atau khalayak yang lebih luas. Hal lain yang saya catat adalah kekonsistenan dalam menjaga passion atau minat kita terhadap sesuatu agar hal itu tetap menyala dalam hati kita. Bu Murti yang dulunya bercita-cita menjadi dokter tentu tidak pernah membayangkan dirinya akan ada di pilihan hidup yang sekarang ditekuni. Bu Murti mencintai buku dan bacaan anak. Nyala itulah yang ia jaga dalam hatinya hingga saat ini. Saya sangat beruntung bisa mengenal dan menjadikan Bu Murti Bunanta sebagai pribadi panutan saya. Dedikasi Bu Murti dalam dunia kesusastraan anak begitu luar biasa dan menjadi inspirasi bagi saya.